Faktor – Faktor yang mempengaruhi beta saham.

4:43:00 AM

Beta Pasar
Beta Pasar dapat diestimasi dengan mengumpulkan nilai-nilai historis return dari pasar selama periode tertentu.
Beta Akuntansi
Beta Akuntansi data yang digunakan misalnya laba akuntansi (accounting earning) dapat juga digunakan untuk mengestimasi Beta. Beta akuntansi ini dapat dihitung secara sama dengan Beta pasar (yang menggunakan data return), yaitu dengan mengganti data return dengan data laba akuntansi.
Beta fundamental
Beaver, Kettler dan Scholes (1970) mengembangkan paper Ball dan Brown menyajikan perhitungan Beta menggunakan beberapa variabel fundamental. Variabel - variabel yang dipilih oleh mereka merupakan variabel-variabel yang dianggap berhubungan dengan risiko, karena beta merupakan pengukur dari risiko. Beaver, Kettler dan Scholes menggunakan 7 macam variabel yang merupakan variabel-variabel fundamental. Sebagian besar dari variabael - variabel tersebut adalah variabel akuntansi. Walaupun variabel-variabel tersebut secara umum dianggap bervariasi dengan risiko, tetapi secara teori mungkin tidak semuanya berhubungan dengan resiko. Ketujuh variabel - variabel yang digunakan adalah sebagai berikut.
1. Dividen Payout.
Dividen Payout diukur sebagai dividen yang dibayarkan dibagi dengan laba yang tersedia untuk pemegang saham umum. Lintner (1956) memberikan alasan rasional bahwa perusahan - perusahan enggan menurunkan dividen. Jika perusahan memotong deviden, maka dianggap perusahaan membutuhkan dana. Oleh karena itu perusahaan yang mempunyai risiko tinggi cenderung untuk membayar dividend payout lebih kecil supaya nanti tidak memotong deviden jika laba yang diperoleh turun. Untuk perusahaan yang berisiko tinggi, probalitas untuk mengalami laba yang menurun adalah tinggi. Dari hasil pemikiran ini, maka dapat disimpulkan adanya hubungan yang negatif antara risiko dan dividend payout, yaitu risiko tinggi, dividend payout rendah. Karena beta merupakan pengukur risiko, maka dapat juga dinyatakan bahwa beta dan Dividend payout mempunyai hubungan yang negatif.
Alasan lain yang menyatakan hubungan negatif antara beta dengan dividend payout adalah bahwa pembayaran dividen dianggap lebih kecil dibandingkan dengan capital gain (Elton dan Gruber, 1994). Dengan demikian perusahaan yang membayar rasio dividen yang tinggi akan mempuyai risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan yang menahannya dalam bentuk laba yang ditahan. Argumentasi ini sebenarnya didasarkan oleh bird in the hand theory oleh Lintner (1962), Gordon (1963) dan Bhattacharya (1979). Teori ini menjelaskan bahwa investor menyukai dividen yang tinggi karena dividen yang diterima seperti burung ditangan yang risikonya lebih kecil dibandingkan dengan dividen yang tidak dibagikan.
2. Asset Growth.
Variabel pertumbuhan aktiva (asset growth) didefinisikan sebagai perubahan (tingkat pertumbuhan) tahunan dari aktiva total. Variabel ini diprediksi mempunyai hubungan positif dengan beta.
3. Leverage.
Leverage didefinisikan sebagai nilai buku hutang jangka panjang total dibagi dengan aktiva total. Leverage diprediksi mempunyai hubungan positif dengan beta. Bowman (1980) menggunakan nilai pasar untuk hutang total dalam menghitung leverage dan mendapatkan hasil yang tidak berbeda jika digunakan nilai buku.
4. Liquidity.
Likuiditas (liquidity) diukur sebagai current ratio yaitu aktiva lancar dibagi dengan hutang lancar. Likuiditas diprediksi mempunyai hubungan yang negatif dengan beta, yaitu secara rasional diketahui bahwa semakin likuid perusahaan, semakin kecil risikonya.
5. Asset Size.
Variabel ukuran aktiva (asset size) diukur sebagai logaritma dari aktiva total. Variabel ini dipediksi mempunyai hubungan yang negatif dengan beta. Ukuran aktiva dipakai sebagai wakil pengukur (proxy) besarnya perusahaan. Perusahaan yang besar dianggap mempunyai risiko yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil. Alasannya adalah karena perusahaan besar dianggap lebih mempunyai akses ke pasar modal, sehingga dianggap mempunyai beta yang lebih kecil (Elton dan Gruber, 1994).
Anggapan ini merupakan anggapan yang umum tidak didasarkan pada teori. Bagaimana juga Watts dan Zimmerman (1978) mencoba membuktikan hipotesis tentang hubungan ini untuk membentuk teori yang disebut dengan teori akuntasi positif (positive theory). Perusahaan yang besar merupakan subyek dari tekanan politik. Perusahaan besar yang melaporkan laba berlebihan menarik perhatian politikus dan akan diinvestigasi karena dicurigai melakukan monopoli (Na’im dan Hartono, 1996; Hartono dan Na’im, 1997). Watts dan Zimmerman selanjutnya menghipotesiskan bahwa perusahaan besar cenderung menginvestasikan dananya ke proyek yang mempunyai varian rendah dengan Beta yang rendah untuk menghindari laba yang berlebihan. Dengan menginvestigasikan ke proyek dengan Beta yang rendah akan menurunkan risiko dari perusahaan. Dengan demikian dihipotesiskan hubungan antara ukuran perusahaan dengan Beta adalah negatif.
6. Earning Variability.
Variabilitas laba (earning variability) diukur dengan nilai deviasi dari PER (price earning ratio) atau rasio P/E (harga saham dibagi dengan laba perusahaan). Variabilitas dari laba dianggap sebagai risiko perusahaan, sehingga hubungan antara variabel ini dengan Beta adalah positif.
7. Accounting Beta.
Beta akuntansi (accounting Beta) diperoleh dari koefisien regresi dengan variabel dependen perubahan laba akuntansi dan variabel independen adalah perubahan indek laba pasar untuk akuntansi portofolio pasar. Karena Beta
akuntansi dan Beta pasar keduanya pengukur risiko yang sama, maka diprediksi keduanya mempunyai hubungan yang positif.

Pengertian Beta Saham.

7:18:00 AM

Beta adalah pengukur risiko sistematik dari suatu sekuritas atau portofolio relatip terhadap risiko pasar.
Beta suatu sekuritas menunjukkan risiko sistemetiknya yang tidak dapat dihilangkan karena diversifikasi. Untuk menghitung Beta portofolio, maka Beta masing-masing rata-rata tertimbang dari Beta masing-masing sekuritas. Mengetahui Beta masing-masing sekuritas juga berguna untuk pertimbangan memasukkan sekuritas tersebut kedalam portofolio yang akan dibentuk.
Dengan adanya resiko yang dapat dihilangkan dengan diversifikasi, maka para pemodal yang menyukai resiko, maka mereka akan memilih untuk melakukan diversifikasi. Sebagai akibat semua pemodal akan melakukan hal yang sama, dan dengan demikian resiko yang hilang karena diversifikasi tersebut menjadi tidak relevan dalam perhitungan resiko. Hanya resiko yang tidak bisa hilang karena diversifikasi yang menjadi relevan dalam perhitungan resiko.
Resiko dalam hal ini ditunjukkan dengan Beta (adalah merupakan koefisien regresi antara dua variabel, yaitu kelebihan tingkat keuntungan portofolio pasar (excess return of market portifolio), dan kelebihan keuntungan suatu saham (excess return of stock).
Investasi yang efisien adalah investasi yang memberikan resiko tertentu dengan tingkat keuntungan yang terbesar, atau tingkat keuntungan tertentu dengan resiko terkecil. Jika ada dua usulan investasi yang memberikan tingkat keuntungan yang sama, tetapi mempunyai resiko yang berbeda, maka investor yang rasional akan memilih investasi yang mempunyai resiko yang lebih kecil. Semakin besar betanya semakin besar pula tingkat keuntungan yang diharapkan dari investasi.
Teori Keynes juga mengatakan bahwa high risk high return, yang artinya semakin tinggi tingkat resiko suatu saham akan memberikan tingkat keuntungan yang semakin besar pula.
Beta suatu sekuritas dapat dihitung dengan teknik estimasi yang menggunakan data historis. Beta yang dihitung berdasarkan data historis ini selanjunya dapat digunakan untuk mengestimasi Beta masa datang. Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa Beta historis mampu menyediakan informasi tentang Beta masa datang (Elton dan Gruber, 1994).
Beta historis dapat dihitung dengan menggunakan data historis berupa data pasar (return - return sekuritas dan return pasar), data akuntansi (laba -laba perusahaan dan laba indeks pasar) atau data fundamental (menggunakan variabel - variabel fundamental). Beta yang dihitung dengan data pasar disebut dengn Beta pasar. Beta yang dihitung dengan data akuntansi disebut Beta akuntansi dan Beta yang dihitung dengan data fundamental disebut dengan Beta fundamental.

Sifat dan Waktu Pengendalian

5:22:00 AM

Sifat dan waktu pengendalian dibedakan atas:
1. Preventive Control adalah pengendalian yang dilakukan sebelum kegiatan dilakukan untuk menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan suatu kegiatan.
2. Repressive Control adalah pengendalian yang dilakukan setelah terjadinya kesalahan dalam pelaksanaan suatu kegiatan dengan maksud agar tidak terjadi pengulangan kesalahan.
3. Pengendalian saat proses dilakukan, jika terjadi kesalahan segera diperbaiki.
4. Pengendalian berkala, adalah pengendalian yang dilakukan secara berkala misalnya perbulan
5. Pengendalian mendadak, adalah pengawasan yang dilakukan secara mendadak untuk mengetahui peraturan-peraturan yang ada telah dilaksanakan dengan baik.
Pengertian pengendalian biaya menurut G. Siegel dan Jae K Shim (1999: 110) adalah sebagai berikut :
“Pengendalian Biaya adalah langkah yang diambil oleh manajemen untuk memastikan bahwa tujuan biaya yang dibuat pada tahap perencanaan dapat dicapai, dan untuk memastikan bahwa semua segmen fungsi organisasi dalam perilakunya konsistensi dengan kebijakan-kebijakan untuk pengawasan biaya yang efektif”.
Sedangkan pengertian Pengendalian Biaya menurut Henry Simamora (1999: 301) sebagai berikut :
“Pengendalian biaya adalah perbandingan kinerja aktual dengan kinerja standar, penganalisisan selisih-selisih yang timbul guna mengidentifikasikan penyebab-penyebab yang dapat dikendalikan dan pengambilan tindakan untuk dapat membenahi atau menyesuaikan perencanaan dan pengendalian di masa yang akan datang”.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan pengendalian biaya adalah tindakan yang dilakukan untuk mengarahkan aktivitas agar tidak menyimpang dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengendalian biaya ini dapat dilakukan melalui anggaran biaya yang secara kontinu diadakan pengawasan secara analisis terhadap penyimpangan yang terjadi sehingga dapat diketahui penyebab terjadinya penyimpangan atas selisih tersebut kemudian dilakukan tindak lanjut agar kerugian yang terjadi, relatif kecil.
Tanggungjawab atas pengendalian biaya harus ditetapkan kepada orang yang membuat anggaran untuk biaya yang dikendalikannya. Tanggungjawab ini terbatas hanya pada biaya-biaya yang dapat dikendalikan, dan pelaksanaan kerja tiap individu harus diukur dengan membandingkan biaya sebenarnya dengan biaya yang dianggarkan.
Jadi pengendalian biaya merupakan suatu tindakan dalam membandingkan antara anggaran biaya dengan realisasi biaya, dan apabila terjadi penyimpangan harus
dilakukan analisis untuk mengetahui apa penyebabnya dan kemudian dilakukan seperlunya.

Proses Pengendalian

5:21:00 AM

Proses pengendalian dilakukan secara bertahap melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menentukan standar-standar yang akan digunakan sebagai dasar pengendalian.
2. Mengukur pelaksanaan atau hasil yang telah dicapai.
3. Membandingkan pelaksanaan atau hasil dengan standar dan menentukan penyimpangan bila ada.
4. Melakukan tindakan perbaikan jika terdapat penyimpangan agar pelaksanaan dan tujuan sesuai dengan rencana

Asas-asas Perjanjian

5:56:00 AM



Hukum perjanjian memuat sejumlah asas hukum. Pengertian asas hukum menurut beberapa pakar adalah :
Paul Scholten menguraikan definisi mengenai asas hukum, sebagai pikiran-pikiran dasar, yang terdapat didalam dan dibelakan system hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang penjabarannya. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab malalui asas-asas hukum itulah pertimbangan etis dan social masyarakat masuk dalam hukum
Asas-asas hukum perjanjian merupakan asas-asas umum (principle) yang harus diindahkan oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya, asas-asas tersebut adalah:
a. Asas Konsensualisme
Dalam hukum perjanjian, asas konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian. Menurut Subekti asas consensus itu dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu mempunyai akibat hukum sejak saat tercapainya kata sepakat dari para pihak yang bersangkutan.
Asas konsensualisme ini diatur dalam Pasal 1338 (1) jo. Pasal 1320 angka 1 KUHPerdata. Konsensus antara pihak dapat diketahui dari kata “dibuat secara sah”, sedangkan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yang tercantum di dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang salah satunya menyebutkan “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” (Pasal 1320 angka 1 KUHPerdata)
Kata sepakat itu sendiri timbul apabila ada pernyataan kehendak dari satu pihak dan pihak lain menyatakan menerima atau menyetujuinya. Oleh karena itu unsur kehendak dan pernyataan merupakan unsur-unsur pokok di samping unsur lain yang menentukan lahirnya perjanjian.
Untuk menentukan kapan saat terjadinya kesepakatan dalam suatu perjanjian, maka muncul teori-teori sebagai berikut :
1.      Teori Kehendak (wilstheorie)
Menurut teori ini yang menentukan apakah telah terjadi suatu perjanjian, adalah kehendak para pihak. Perjanjian mengikat, kalau kedua kehendak telah saling bertemu dan perjanjian mengikat atas dasar bahwa kehendak mereka (para pihak) patut dihormati.
2.      Teori Gevaarzetting
Menurut teori ini setiap orang yang turut serta dalam pergaulan hidup, harus menerima konsekuensi bahwa tindakan dan ucapannya mungkin ditafsirkan oleh pihak lain menurut arti yang dianggap patut oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. Orang tidak boleh sembarangan mengucapkan sesuatu dan akibat salah ucap tidak patut untuk turut dipikul oleh orang lain, tetapi harus dipikul oleh salah ucap sendiri.
3.      Teori Pernyataan
Menurut teori ini yang menjadikan patokan adalah apa yang dinyatakan seseorang. Kalau pernyataan dua orang sudah saling bertemu, maka perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak.
4.      Teori Kepercayaan
Menurut teori ini yang menjadi patokan ialah pernyataan seseorang, tetapi dengan pembatasan apakah pihak lain tahu atau seharusnya tahu bahwa orang dengan siapa ia berunding adalah keliru. Dengan perkataan lain bahwa yang menentukan bukan pernyataan orang, tetapi keyakinan atau kepercayaan yang ditimbulkan oleh pernyataan tersebut. Jika dilihat dari pengertian teori-teori tersebut maka dapat dimengerti bahwa perjanjian itu dapat terjadi hanya secara lisan saja tanpa adanya formalitas tertentu, kecuali perjanjian yang oleh Undang-undang diharuskan dengan formalitas tertentu, dengan ancaman batal apabila formalitas yang telah ditentukan tidak dipenuhi. Bentuk dari formalitas adalah perjanjian itu harus dibuat secara tertulis atau dengan akta notaris dengan tujuan sebagai alat bukti adanya perjanjian tersebut.

b. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini berarti setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja walaupun perjanjian itu belum atau tidak diatur dalam Undang-undang. Asas ini menganut sistem terbuka yang memberikan kebebasan seluas-luasnya pada masyarakat untuk mengadakan perjanjian. Jadi para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri isi dan bentuk perjanjian. Asas kebebasan berkontrak dapat diketahui dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata dari kata “semua perjanjian” dapat disimpulkan bahwa, masyarakat diberi kebebasan untuk:
1.      Mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian
2.      Mengadakan perjanjian dengan siapa saja
3.      Menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuatnya
4.      Menentukan peraturan hukum mana yang berlaku bagi peraturan perjanjian yang dianutnya.
Asas kebebasan berkontrak ini dalam pelaksanaannya dibatasi oleh tiga hal seperti yang tercantum dalam Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu perjanjian itu tidak dilarang oleh Undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Selain dibatasi oleh Pasal 1337 KUHPerdata, asas kebebasan berkontrak juga dibatasi oleh:
1. Adanya standarisasi dalam perjanjian. Hal ini disebabkan adanya perkembangan ekonomi yang menghendaki segala secara cepat. Di sini biasanya salah satu pihak berkedudukan membuat perjanjian baku (standard), baik dalam bentuk dan isinya. Di dalam perjanjian standard itu terdapat pula klausula eksenorasi, yaitu yang mensyaratkan salah satu pihak harus melakukan atau tidak melakukan atau mengurangi atau mengalihkan kewajiban atau tanggung jawabnya. Apabila klausula eksenorasi yang dibuat oleh pihak lawan, maka pihak lain ini dianggap menyetujui klausula tersebut meskipun klausula tersebut menjadi beban baginya.
2. Tidak bertentangan dengan moral, adab kebiasaan dan ketertiban umum
Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan, pembatasan-pembatasan tersebut adalah akibat dari adanya:
a. Perkembangan masyarakat, khususnya di bidang sosial ekonomi, yaitu misalnya adanya penggabungan-penggabungan atau sentralisasi-sentralisasi daripada perseroan atau perusahaan-perusahaan. Jadi dengan adanya pemusatan atau penggabungan atau sentralisasi ini, mengakibatkan kebebasan berkontrak perseroan dibatasi.
b. Adanya campur tangan pemerintah atau penguasa untuk melindungi kepentingan umum dan si ekonomi lemah dari cengkeraman pihak ekonomi kuat.
c. Adanya strooming atau aliran dari masyarakat yang menuju kearah “keadilan social” sehingga ada usaha-usaha untuk memberantas ketidakadilan yang terjadi dalam perjanjian-perjanjian yang tidak memenuhi rasa keadilan serta hak-hak asasi manusia.
c. Asas Itikad Baik (in good faith)
      Asas itikad baik ini berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian, adapun asas itikad baik mempunyai dua pengertian yaitu:
1). Itikad baik dalam pengertian subyektif
Merupakan sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu hubungan hukum berupa perkiraan bahwa syarat-syarat yang telah diperlukan telah dipenuhi, di sini berarti adanya sikap jujur dan tidak bermaksud menyembunyikan sesuatu yang buruk yang dapat merugikan pihak lain.
2).  Itikad baik dalam pengertian obyektif
Ini merupakan tindakan seseorang dalam melaksanakan perjanjian yaitu pada saat melaksanakan hak dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum. Artinya bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas ketentuan yang benar, yaitu mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Asas itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menentukan bahwa persetujuan harus dilakukan dengan itikad baik.
Dari ketentuan di atas, hakim diberi wewenang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.Pelaksanaan yang sesuai dengan norma-norma kepatutan dan kesusilaan inilah yang dipandang adil dan hal ini dapat dikesampingkan oleh para pihak.
Menurut Abdul kadir, apabila ditinjau dari arti kata, kata itikad baik berarti kepantasan, kelayakan, kesusilaan, kecocokan sedangkan kesusilaan artinya kesopanan. Kesusilaan dan kepatutan adalah sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan, berada sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing yang berjanji.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa maksud dari pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik adalah bagi para pihak dalam perjanjian harus ada keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan norma kepatutan dan kesusilaan sehingga menimbulkan keadilan bagi kedua belah pihak dan tidak merugikan salah satu pihak. Adapun akibat dari pelanggaran asas itikad baik adalah perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan.

d. Asas Kekuatan Mengikat (pacta sunt servanda)
Asas kekuatan mengikat atau asas pacta sunt servanda ini berkaitan dengan akibat dari perjanjian. Arti dari pacta sunt servanda adalah bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mempunyai kekuatan mengikat dan berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga para pihak harus tunduk dan melaksanakan mengenai segala sesuatu yang telah diperjanjikan. Asas ini dapat diketahui dari Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi yang membuatnya.
Asas ini menimbulkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah memperjanjikan sesuatu memperoleh kepastian bahwa perjanjian itu dijamin pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan kekuatan Pasal 1338 KUHPerdata, yang intinya menyebutkan bahwa perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain diperbolehkan oleh Undang-undang. Asas ini dapat berlaku apabila kedudukan para pihak tidak seimbang. Tetapi jika kedudukan para pihak seimbang maka Undang-undang memberi perlindungan bahwa perjanjian itu dapat dibatalkan, baik atas perintah para pihak yang dirugikan, kecuali dapat dibuktikan pihak yang dirugikan menyadari sepenuhnya akibat-akibat yang timbul.

e. Asas Personalitas
Asas personalitas ini diartikan sebagai asas kepribadian, yang berarti bahwa pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri. Suatu perjanjian hanya mengikat bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu, dan tidak mengikat bagi orang lain yang tidak terlibat dalam perjanjian itu. Terhadap asas kepribadian ini ada pengecualiannya, yaitu apa yang disebut sebagai “derben beding” atau perjanjian untuk pihak ketiga.
Dalam hal ini seorang membuat suatu perjanjian, di mana dalam perjanjian itu ia memperjanjikan hak-hak bagi orang lain, tanpa kuasa dari orang yang diperjanjikan itu. Asas personalitas diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata, menyebutkan tentang janji untuk pihak ketiga itu sebagai berikut: lagipun diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, jika pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.

f. Asas Sistem Terbukanya Hukum Perjanjian.
Asas ini mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-undang, Asas ini sering juga disebut “asas kebebasan berkontrak”. Dalam perjanjian, asas ini memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Sistem terbuka, yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1338 ayat (1), yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Selanjutnya sistem terbuka dari hukum perjanjian, mengandung pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam Undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu KUHPerdata dibentuk.

Pengertian dan Pengaturan Perjanjian

8:39:00 AM



Hukum perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata yang berjudul tentang Perikatan pada umumnya. Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.Suatu perjanjian juga dinamakan suatu persetujuan karena dua pihak setuju untuk melaksanakan suatu hal atau sama-sama berjanji untuk melaksanakan suatu hal tertentu.
Istilah perjanjian merupakan istilah yang umum dalam dunia hukum. Mengenai pengertian perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”. Pengertian perjanjian di atas selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja sedangkan sangat luas karena dipergunakannya perkataan perbuatan tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Menurut R. Setiawan sehubungan dengan itu perlu diadakan perbaikan pengertian perjanjian, yaitu :
1.          Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
2.          Menambah perkataan ‘atau saling mengikatkan dirinya’ dalam Pasal 1313 KUHPerdata.
Sehingga perumusannya menjadi, Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
Beberapa sarjana juga mengemukakan keberatannya pada batasan perjanjian yang terdapat dalam KUHPerdata dengan mengatakan, rumusan dan batasan perjanjian dalam KUHPerdata kurang lengkap bahkan dikatakan terlalu luas. Adapun kelemahan dalam perumusan perjanjian dalam KUHPerdata adalah hanya menyangkut perjanjian sepihak saja, disini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih” kata mengikatkan merupakan kata kerja yang sifatnya datang dari suatu pihak saja tidak dari kedua belah pihak. Adapun maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu ada rumusan “saling mengikatkan diri” jadi jelas nampak adanya consensus atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Selain itu kata perbuatan mencakup juga perikatan tanpa consensus atau kesepakatan dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan hukum . Dalam rumusan pasal tersebut juga tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengkaitkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya. Selanjutnya untuk adanya suatu perjanjian yang dilakukan cukup secara lisan saja. Untuk kedua bentuk tersebut sama kekuatannya untuk dapat dilaksanakan oleh para pihak.
M Yahya Harahap berpendapat bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi
Menurut Sudikno Mertokusumo kata overeenkomst diterjemahkan sebagai perjanjian, beliau tidak menggunakan istilah persetujuan sebagai Toesteming. Kata toesteming ini dapat diartikan persetujuan, persesuaian kehendak, atau kata sepakat. Pengertian perjanjian menurut beliau adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum
Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian adalah sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, di mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu
Perjanjian menurut system common law dipahami sebagai suatu perjumpaan nalar, yang lebih merupakan perjumpaan pendapat atau ketetapan maksud. Perjanjian adalah perjumpaan dari dua atau lebih nalar tentang suatu hal yang dilakukan atau yang akan dilakukan.
Perjanjian erat sekali kaitannya dengan perikatan, sebab ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan bahwa, perikatan dilahirkan baik dari Undang-undang maupun perjanjian. Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari Undang-undang diadakan oleh Undang-undang di luar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan perjanjian, maka mereka bermaksud agar antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Berkaitan dengan ketentuan di atas Subekti berpendapat bahwa perjanjian itu merupakan sumber perikatan yang terpenting karena melihat perikatan sebagai suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian diartikan sebagai suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa.
Sedangkan menurut Atiyah, kontrak atau perjanjian memiliki tiga tujuan, yaitu, janji yang telah diberikan harus dilaksanakan dan memberikan perlindungan terhadap suatu harapan yang pantas, agar tidak terjadi suatu perubahan kekayaaan yang tidak halal, agar dihindarinya suatu kerugian.
Perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang mengikat satu atau lebih subyek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama lain. Perikatan yang lahir karena undang-undang mencakup misalnya kewajiban seorang ayah untuk menafkahi anak yang dilahirkan oleh istrinya.
Syarat sahnya suatau perjanjian secara umum diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Terdapat empat syarat yang harys dipenuhi untuk sahnya perjanjian. Syarat-syarat tersebut adalah :
    1. Adanya kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian
    2. Adanya kecakapan para pihak untuk mengadakan perjanjian
    3. Adanya suatu hal tertentu
    4. Adanya sebab (causa) yang halal.
Dari empat syarat tersebut, syarat pertama dan kedua merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suatu perjanjian karena disebut syarat subyektif sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian yang disebut syarat obyektif. Tidak dipenuhinya syarat obyektif ini berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum. Sedangkan tidak dipenuhinya syarat subyektif maka perjanjian dapat dibatalkan.
Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KHUPerdata telah dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian telah memiliki kekuatan hukum yang sama dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Berdasarkan ketentuan diatas, maka ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUHPerata menganut system terbuka, artinya memberikan kebebasan kepada para pihak (dalam hal menentukan isi, bentuk, serta macam perjanjian) untuk mengadakan perjanjian akan tetapi isinya selain tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum, juga harus memuat syarat sahnya perjanjian.
Ketentuan yang terdapat dalam hukum perjanjian merupakan kaidah hukum yang mengatur artinya kaidah–kaidah hukum yang dalam kenyataanya dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan membuat ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan khusus di dalam perjanjian yang mereka adakan sendiri. Kaidah-kaidah hukum semacam itu ada yang menamakan dengan istilah hukum  pelengkap atau hukum penambah. Hal ini ditegaskan pula oleh Subekti bahwa pasal-pasal tersebut boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian.
ti,

Perjanjian Pekerjaan

8:38:00 AM


Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa perjanjian pekerjaan atau perjanjian pemborongan diatur dalam Buku III KUH Perdata Pasal 1601b. Dengan adanya perjanjian pemborongan selalu ada pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian pemborongan, tetapi ada pihak-pihak lain yang secara tidak langsung terkait dengan adanya perjanjian pemborongan. Baik pihak yang terkait dalam perjanjian pemborongan dan pihak lain yang secara tidak langsung terkait dengan adanya perjanjian pemborongan disebut peserta dalam perjanjian pemborongan. Adapun peserta dalam perjanjiannya yaitu :
a.       prinsipal (pimpinan proyek / pemberi tugas)
b.      pemborong (rekanan / kontraktor)
c.       perencana (arsitek)
d.      pengawas (direksi)
Subekti membedakan perjanjian pemborongan dalam dua macam, yaitu pertama perjanjian pekerjaan  dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut kedua perjanjian pekerjaan  dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaan saja.
Satu dan lain memiliki konsekuensi yang berbeda dalam hal perjanjian pekerjaan dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaan saja jika pekerjaan musnah sebelum pekerjaan itu diserahkan ia bertanggungjawab dan tidak dapat menuntut harga yang diperjanjiakan kecuali apabila musnahnya barang itu karena suatu cacat yang terdapat dalam bahan yang disediakan oleh pemberi tugas, yang bertanggung jawab adalah pemberi tugas. Dalam hal perjanjian pekerjaan  dimana pihak pemborong diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan dengan cara bagaimanapun pekerjaan musnah sebelum diserahkan kepada pihak yang memberikan pekerjaan maka segala kerugian yang ditimbulkan atas tanggung jawab dari pihak penerima pekerjaan atau pemborong kecuali dapat dibuktikan bahwa pihak yang memberikan pekerjaan telah lalai menerima hasil pekerjaan itu


Powered by Blogger.